Rabu, 02 November 2011

Story of Semeru mountain

Awal perjalananku kali ini adalah perjalanan penuh kenekatan dan keterbatasan. Nekat dengan mengubah rencana awal perjalanan tujuan Yogyakarta menjadi Malang, dengan uang yang pas-pasan bahkan minus. Perubahan kilat tersebut kuputuskan ketika mendengar kabar dari salah satu sahabatku di Semarang bahwa ada acara mendaki gunung Semeru bersama Pikinik Alam. Bukan hanya tergiur dengan sebuah komunitas pecinta alam yang mengadakanya dengan biaya pendaftaran yang cukup murah, tetapi lebih kepada tujuan komunitas Pikinik alam pergi. Gunung Semeru. Yup, sebenarnya keputusan kilatku timbul setelah mendengar nama gunung tersebut dari mulut sahabatku. Entah sudah berapa lamanya aku ingin mendaki gunung. Apalagi gunung Semeru. Dapat kukatakan aku sudah mendambakan menginjakkan kaki bersama sahabatku disana sejak kami duduk dibangku SMA. Maka, tanpa berpikir dua kali aku langsung meyambut tawaran sahabatku dengan sangat antusias. Tidak terpikir bagaimana tegasnya orangtuaku melarangku untuk mendaki, tidak terpikir begitu tingginya gunung Semeru, tidak terpikirnya skill mendaki yang masih nol, tidak terpikir keadaan fisik yang semakin memelar akibat tidak pernah berolahraga lagi, tidak terpikir kalau aku sama sekali tidak memiliki peralatan naik gunung bahkan sepatu kets yang layak, aku tetap memutuskan untuk pergi meski waktunya sudah dekat dan aku tau aku benar-benar Gila memutuskan semua ini.

Mendengar aku ingin mendaki gunung Semeru bersama piknik alam , Kiki langsung mengajukan diri untuk turut serta menemaniku. Walau aku tau dia juga belum pernah mendaki sebelumnya, tapi aku mengijinkannya ikut. Akhirnya, kami yang sama-sama masih buta trek dan situasi kondisi pegunungan, mendapatkan pelatihan sedikit dari sahabatku mengenai peralatan yang dibutuhkan hingga pantangan mengeluh serta berkata sembarangan di gunung. Kedai sate padang pinggir jalan langganan Dila menjadi sasaran kami. Kami memesan 2 porsi untuk tiga orang. Dalam kasus ini, aku dan Kiki yang makan berdua. Bisa dibilang romantis, atau bokek, entahlah, haha.

"Yaudah sekarang catet semua peralatan yang gue sebutin". Dila mulai memberi komando. Aku mencatat nama-nama peralatan tersebut yang beberapa diantaranya masih asing ditelingaku. 
"nesting apaan Dil?" Aku mulai menanyakan nama yang masih asing tersebut. 
"Jadi nesting itu kayak wadah untuk masak sekaligus makan". Dila menjelaskan sambil menyeruput minumannya yang tinggal setengah. Akibat kelamaan nunggu sate padang dibakar.
"Dil, bukannya gunung semeru statusnya masih aktif ya, jadi gak boleh didaki sampe puncak?" Kiki menanyakan salah satu kegundahannya. Karena sebenarnya dia juga melalui proses introgasi yang cukup panjang plus wejangan-wejangan yang seperti gak ada habisnya dari kedua orang tua serta Mbahnya. Maka, dia harus mengetahui pasti kalau situasi disana benar-benar sudah aman untuk didaki demi meyakinkan kedua orangtuannya dan mendapatkan ijin yang legal.
"Katanya mas Inu sih, udah aman lah, kalo gak boleh mendaki sampe puncak mah, itu cuma peraturannya aja nyatanya mah banyak pendaki yang tetep nembus kalimati dan sampe puncak kok. Lagipula, kan yang sebenernya para pendaki incer itu selain foto saat sun rise juga foto pas wedus gembelnya nyembur...". Dila menjelaskan panjang lebar sambil memakan sate yang baru matang tersebut dengan sangat lahap karena kelaperan.

Aku mengunyah potongan daging sapi yang masih panas panas itu sambil membayangkan keadaan disana, bagaimana kalau ingin buang air besar, bagaimana kalau pas hujan tetap menembus hutan yang tanahnya licin, bagaimana kalau tersesat di hutan atau bagaimana kalau trek yang katanya berbatuan itu batunya menggelinding melewati kita. Hmm, semakin dibayangkan semakin penasaran ingin segera sampai menginjakkan kaki langsung menyusuri setapak demi setapak yang menukik, kadang menurun curam dan sedikit landai seperti yang digambarkan dalam novel 5cm yang kubaca beberapa tahun yang lalu.
"Dil, ketinggian gunung semeru berapa?" Aku tidak tahan untuk tidak menanyakannya demi mengukur akankah aku mampu mendakinya dengan keadaan fisikku yang saat ini yang sedang memelar alias sedikit montok. "Gue lupa pastinya berapa, yang jelas Semeru itu gunung tertinggi di pulau jawa Rah..". Dila menjawab pertanyaanku dengan menatap langsung mataku kemudian berlanjut ke tubuhku yang semakin subur. Tidak butuh waktu lama dan... 
"Rah, gue gak yakin lo bisa sampe puncak dengan kondisi fisik lo sekarang. Apalagi lo jarang olahraga, hahhaha". Tawannya yang lepas serta celetukannya yang jujur sekali membuat kiki juga tidak kuasa menahan tawanya. Bahkan bisa kubilang, ketawa Kiki lebih keras dibandingkan Dila. Dan sekarang dia sudah lengkap tertawa sekaligus mencubitiku dengan gemas. Huft, derita orang Ndut. Pasrahku dalam hati.

Keesokan harinya,Aku dan kiki pergi ke JCC melihat pameran Pekan Kreatif Indonesia. Niatnya sekalian mau mencari perlengkapan naik gunung yang belum lengkap. Tapi semua peralatan itu tentu tidak kutemukan di pameran tersebut. Melainkan, setelah pulang aku diajak Kiki ke tempat penjualan barang outdoor Eiger yang terletak persis disamping kantor Ayahnya. Awalnya aku menolak, karena malu bertemu Ayahnya. Tapi Kiki terus membujuk dan benar saja Ayahnya keluar kantor dan melihatnya.

Aku sedikit kikuk karena bisa dibilang aku baru kenal dengan Ayahnya. Ini adalah kali kedua aku bertemu kembali. Alhasil tidak mau malu seperti sebelumnya maka aku memberi salam tanpa menjabat tangan.menghormati (bukan muhrim).

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar